Memilih
Siang
ini seharusnya cerah. Namun, mentari bersembunyi di balik awan abu pekat
setelah kami ditugaskan untuk mengerjakan puluhan soal matematika. Hatiku
tiba-tiba ikut mendung. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar. Aku
duduk di koridor depan kelas, masih menggenggam LKS Matematika. Lalu, tanganku
merasa kosong, LKS itu telah direbut seseorang.
Kepalaku refleks mendongak. Aku tak asing dengan wajah
perebut LKS itu.
Aku merebut LKS dari tangan milik sosok laki-laki itu.
“Ah, Kak Gio! Rese deh.”
Kak Gio tertawa kecil lalu duduk di sebelahku. Refleks,
aku menggeser lebih jauh untuk memberikan jarak antara kami berdua. Kak Gio
adalah seniorku kelas XI. Dia sangat pintar bagiku. Dia masuk 10 besar pemenang
OSN[1]
Fisika tingkat kabupaten. Kak Gio pernah mengajakku untuk nonton dan makan
bersama. Waktu itu dia bilang, dia yang akan mentraktirku menggunakan uang
hadiah OSN. Tapi sayang, aku tidak mendapat izin dari orang tuaku.
Aku melirik Kak Gio yang duduk di sebelahku. Belum ada
yang memulai pembicaraan. Lalu, aku memulai lebih dulu.
“Tadi, gue dikasih tugas matematika banyak banget. Gue
gak bisa.”
“Lah, emang lo udah nyoba? Belum kan?” Kak Gio
memandangku. “Coba dulu, nanti kalo gak bisa tanya ke gue.” Lanjutnya.
Aku
mengangguk. Kak Gio lalu tersenyum dan beranjak menuju kelasnya. Aku memandangi
punggungnya yang kemudian hilang di balik pintu.
Malam pun datang. Purnama terselimuti awan hingga
cahayanya tak bisa membias di kaca jendela kamarku. Aku masih berkutat dengan
tugas matematika. Akhirnya, dari 30 soal aku berhasil menjawab 25 soal.
Sisanya, aku tanyakan kepada Kak Gio. Aku memfoto 5 soal itu kemudian ku
kirimkan via BBM.
Lima belas menit berlalu, Kak Gio mengirimkan foto yang
yang berisi jawban-jawban dari soal yang aku tanyakan. Lalu ia menyelipkan
sebuah pertanyaan yang rutin ia tanyakan padaku. “Udah sholat belum?”
Kak Gio beragama Katolik, namun toleransinya tinggi. Ia
selalu menanyakan ku apakah aku sudah sholat atau belum, biasanya kalau aku
belum sholat dia akan marah dan tidak mau membalas chatku.
“Sudah kok.” Jawabku.
Hari demi hari, aku semakin dekat dengan Kak Gio, kami
semakin akrab. Kami selalu membicarakan segala hal yang kemudian kami pecahkan
bersama. Hingga pada suatu hari ia tak membalas chatku. Dia baru membalasnya saat sore tiba.
“Maaf ya, Bella. Tadi gue misa kamis putih. Baru pulang.”
Aku tersenyum. “Oh gitu, kirain kenapa.”
Jantungku berdegub bak setelah mengkonsumsi kafein. Loh,
apa aku rindu dengannya? Apa aku jatuh cinta? Aku bahkan tidak menyukainya,
namun aku merasa kosong jika tak ada dia di setiap hariku. Dan aku pun
menyadarinya jika aku rindu.
Mulai saat itu, aku selalu gelisah tiap malam. Setiap
berbincang dengannya, ada sesuatu yang mengganjal. Namun, akhirya aku berani
jujur.
“Kak, gue kayaknya suka sama lo deh.” Aku langsung membalikan ponselku dan ku singkirkan jauh-jauh.
Tiba-tiba terdengar suara pesan masuk. Aku beranikan
untuk membuka pesan itu. “Gue sih nyaman sama lo. Tapi gue masih dalam proses move on sama gebetan gue, Meutia. Lo
maunya kita gimana?” aku membacanya terbata-bata.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi kami berdua.
Waktu
terus berlalu, kami berdua makin dekat dan Kak Gio berhasil move on dari Meutia. Seminggu yang lalu,
Kak Gio bilang padaku bahwa ia menyukaiku. Aku pun senang sekaligus bingung.
Siang
ini cerah dengan langit yang bersih dan awan seputih kapas. Cuacanya tenang
dengan diiringi hembusan angin yang membuat ujung kerudungku terbang. Aku
berjalan menyusuri Taman Kota bersama Kak Gio. Di tengah suasana yang nyaman
seperti ini Kak Gio menanyakan sesuatu yang merubah suasana−Kak Gio menanyakan
tentang hubungan kami.
“Kadang
gue bingung Bel, kita kadang cuma kaya teman, kadang lebih dari teman bahkan
kadang gue cuma kaya orang asing buat lo.”
“Hmmm,
terus?” aku meliriknya.
“Ya,
aku maunya kita lebih,” nada suara Kak Gio melembut. “Kamu maunya gimana?”
“Entah,
aku udah nyaman banget begini sama Kakak,” aku melengos. “Kak, kalau kita
pacaran itu sama aja. Menurutku pacaran itu cuma kaya label aja. Kak, tempat
ibadah kita aja beda. Terus, gimana cara kita menyatukan hati kita?” langkahku
terhenti.
Kak
Gio meraih tangan kananku. Aku merasa canggung karena ini pertama kalinya ia
menyentuhku. Kak Gio menatapku lembut. Pandangannya sangat teduh. “Bella, kita
itu sebenarnya sama. Hanya, cara penyampaian kita ke Tuhan aja yang beda.”
Tatapannya semakin dalam. Tatapannya mengiris hati.
Kami
berhadapan. Aku terbungkam tak bisa mengatakan apa-apa. Mataku berputar melihat
sekeliling, namun aku terhenti pada suatu titik. Aku terfokus pada kalung salib
putih yang Kak Gio kenakan. Satu pertanyaan terlintas dibenakku saat itu, Mengapa cinta terpisah karena agama? Padahal
agamalah yang pertama kali mengajarkan cinta.
“Kak
segalanya rumit. Semua jalan yang akan kita lalui rasanya salah.”
“Bel,
aku sayang sama kamu.”
“Aku
juga.”
Ada
hening yang panjang setelah itu. Menurutku, dekat dengannya sebatas ‘teman’ itu
sudah nyaman buatku. Aku tidak pernah mengharapkan yang lebih dari ini. Tapi,
pada akhirnya kita tetap harus memilih−ganti Tuhan atau ganti pasangan?
Di
senja yang indah ini, saat grombolan burung terbang dan mentari kian menghilang
karena ketakutannya, Kak Gio mengantarkan ku pulang sampai depan gerbang
rumahku. Ia tersenyum padaku, yang bahkan aku mengetahui jika senyuman itu
tidak ikhlas. Ia kemudian beranjak pergi dan aku terus memandangi kepergiannya.
Sebuah penutupan yang indah untuk kenangan yang indah.
Tidak
terasa, musim telah berganti dan kalenderku sudah berganti. Tahun ini, tahun
kelulusan Kak Gio. Ia diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Teknik di
Bandung. Kemarin, ia sudah pamit padaku. Aku pun tak lupa mengucapkan selamat
tinggal padanya. Aku merasa lega karena ia telah mendapatkan apa yang ia
inginkan.
Sekarang,
kami memilih jalan kami masing-masing. Kami masih berteman baik namun menyudahi
perasaan cinta yang ada di hati kami, karena kami terlalu mencintai Tuhan kami
masing-masing. Aku merelakan Kak Gio mencari sepotong hati yang baru dan
merelakan ia mencari kebahagiaannya sendiri.
Kak
Gio lah yang sudah menyadarkanku bahwa tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Komentar
Posting Komentar