SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #7
Akhirnya aku dan anak-anak drumband
lainya telah tiba di Alun-alun Kota. Cuaca yang cukup panas membuat keringat
bercucuran di dahi ku. Semoga dandanan ku tidak terlalu pudar. Hahaha.
“Gila
cuaca nya panas banget, Mel!” Audrey sibuk melap keringatnya dengan saputangan.
“Iya
nih. Gak kebayang nanti pas mulai jalan rasanya gimana.”
Audrey
hanya mengangguk-angguk seolah sependapat.
Semua
peserta karnaval telah berkumpul disini. Kreatifitas yang mereka buat sangat
menarik dan menghibur kami semua. Kebanyakan dari mereka menghias kendaraanya
dengan sangat meriah. Ada juga yang berkostum seperti para zombie, hal itu membuat Audrey menjerit-jerit saat melihatnya.
Sekali
lagi aku menahan tawa saat melihat ekspresi Edo yang terlihat risih saat
mengenakan seragam futsalnya itu. Ada juga Reza, ia terlihat keren, sangat
keren saat mengenakan seragam drumbandnya, bahkan lebih keren dari kemarin.
Entah apa yang membuatnya lebih keren hari ini.
Aku
terkejut saat panitia karnaval telah memulai acara ini. SMP ku mendapat urutan
pertama untuk mengawali jalannya karnaval. Kami segera merapikan formasi
masing-masing. Aku mengucapkan doa dalam hati agar karnaval kali ini berjalan
lancar tanpa ada hambatan apapun. Segera ku angkat tongkat bendera hingga ujung
bawah tongkat menyentuh perutku. Tongkatnya pun ku genggam dengan penuh
kebanggaan, dengan penuh keringat perjuangan, dan dengan dasar nama baik
sekolah. Kami pun mulai berjalan meninggalkan alun-alun kota.
Mayoret memberi aba-aba untuk lagu
pertama−Hari Merdeka. Kami segera menganggkat tongkat bendera se atas kepala
lalu memutarnya dan mencondongkannya kembali ke depan. Sering sekali bendera
kami terlilit pada tongkat saat memutarkannya. Setelah
jarak 2 Km yang kami tempuh, sudah terlihat beberapa anggota drumband merasa
kewelahan. Aku pun merasakan hal yang sama. Rasa haus pun mulai menggelitik.
Ditambah cuaca yang terlalu panas, membuat keringat bercucuran di sekujur
tubuh. Aku juga segera mengikat rambutku yang sedari tadi tergerai dan terasa
lepek. Kami selalu memanfaatkan beberapa kesempatan yang ada untuk
beristirahat. Aku menutupi kepala ku dengan bendera color guard ku. Kebanyakan kami selalu mengeluh tiap detik nya.
Tapi entah, saat mendengar riuh nya tepuk tangan dari warga sekitar membuat
tubuhku seperti disengat listrik untuk bersemangat kembali dan melanjutkan
semuanya. Dan semoga semuanya merasa sama seperti apa yang aku rasakan.
***
Akhirnya
kami tiba di pos penilaian pertama. Di karnaval ini di sediakan 3 pos, yang
pertama berada dengan jarak 2 Km dari Start,
yang kedua berjarak 2 Km dari pos pertama, dan pos penilaian terakhir
berada di depan kantor kecamatan atau Finish
dari kegiatan karnaval ini. Setibanya di pos pertama, kami segera memberikan
penampilan yang terbaik, tidak ada satu mata juri yang lengah, jadi kami harus
menampilkannya sebaik mungkin tanpa ada kesalahan sekecil pun. Sekali lagi, aku
merasa bangga untuk ada disini.
Pos
pertama berlalu, dan kami terlanjur bersemangat untuk menampilkan yang terbaik
tanpa ada acara bermalas-malasan apalagi mengeluh.
***
Setelah melewati
dua pos, akirnya kami tiba di pos terakhir. Kami dinilai langsung oleh
tamu-tamu tinggi pemerintahan. Kami berusaha menstabilkan kondisi supaya tidak
terlalu gugup. Kami terasa lega dan bahagia, karna tugas kami hampir selesai.
Setelah ini kami bisa kembali ke sekolah, dan menonton karnaval yang juga
melewati jalanan depan sekolah. Disamping aku menggerakan bendera sekilas aku
memperhatikan wajah-wajah lesu anggota drumband. Namun perlahan aku melihat
banyak senyum yang mengembang di wajah mereka. Tak sengaja aku melihat ke arah
Reza, mata kami bertemu.
Dia perlahan senyum padaku.
Aku membalas
senyumnya.
Syukur, tugas
kami benar-benar selesai. Aku segera mencari-cari keberadaan Audrey di
tengah-tengah keramaian. “Melodi!” seru Audrey. Aku memutar kepala,
mencari-cari arah sumber suara itu. “Mel. Melodi!” kali ini suara itu kian
keras. Aku berbalik arah, mencari- cari suara tersebut. Dan ternyata ia berada
di bawah ku, sedang menyimpulkan tali sepatunya. Audrey tertawa keheranan.
-Satu Jengkal di Sampingmu-
Setelah
sampai di sekolah, aku memutuskan untuk segera berganti pakaian dan
mengembalikan seragam drumband kepada Bu Wira. Aku segera berlari menuju
gerbang sekolah, mencari-cari teman-temanku yang lain di tengah keramaian ini.
Aku berdesakan di tengah-tengah kerumunan orang yang sangat riuh menonton
karnaval. Entah mengapa di tengah-tengah keramaian ini aku hanya menumukan satu
orang yang sangat akrab dengan ku. Edo. Ia terlihat sangat serius menonton karnaval
dengan seragam futsal kebesaran−yang masih melekat di badannya.
“Edo!”
aku menepuk pundaknya dari belakang. Postur tubuhnya yang lumayan tinggi,
membuat aku harus menjinjitkan kaki untuk berhasil menyentuh pundaknya. Namun
entah ia yang terlalu tinggi atau aku yang bantet.
“Ah lo lagi, Mel. Bosen gue.” Ia menoleh dengan wajah memelas. “Ih lo do!” aku
memukulnya. “Oke gue pergi!” baru saja aku melangkahan kaki, Edo dengan sigap
menarik tangan kiri ku. “Just Kidding,
Mel.” Ia menaikan satu alisnya. Dan aku pun tertawa.
“Lo
kapan mau berhenti jomblo?” tanyaku. Edo hanya mengangkat kedua bahunya. “Lo
sendiri kapan?” ia malah berbalik tanya. “Gue pengen berhenti pas gue ada satu
jengkal di sampingnya. Di samping orang yang gue sayang. Tapi kayaknya impossible banget.”
“Satu
jengkal?”
“Iya.”
“Gue
berarti, Mel? Gue kan sekarang satu jengkal di samping lo!” Edo tertawa dengan
PD.
“Anjrit,
bukan! PeDe banget lo sumpah!”
“Dari
dulu kan lo udah nge-cap gue jadi orang paling PeDe se-komplek, Mel” Ia mencoba
memberantakan rambutku.
“Reza.”
Aku menarik nafas. “Gue sayang sama Reza, Do.” Kataku dengan suara lirih.
“Reza?”
ia tersentak. “Bukan Ray?”
Aku
menggeleng.
“Oke!”
Edo menarik tanganku. “Gue harus cariin Reza. Lo harus ngomong sama dia, kalo
sebenernya lo mendem rasa buat dia.”
Aku
melepaskan tanganku dari genggaman Edo. “Ga segampang itu, Do. Gue cewek,
yakali gue ngomong gitu aja.”
“Mel,
dengerin gue. Ini bukan masalah siapa yang harus mulai. Tapi ini tentang hati
lo, lo emangnya mau apa nyesel seumur hidup gara-gara perasaan lo ga sampai ke
Reza, dan ternyata selama ini Reza juga suka sama lo?” Edo berkata penuh
semangat.
“Do...”
kataku lirih. “Ga mungkin, Reza kan misterius. Mana mungkin dia suka sama gue.”
“Nah,
karna dia itu misterius siapa tau dia selama ini diem-diem mendem rasa buat lo.
Emangnya lo tau? Dia misterius kan?” Edo mengusap rambutku. “Lagi pula kalo gue
liat-liat, sikap Reza ke lo tuh beda. Beda gak kayak sikapnya ke cewek-cewek
lain. Lo kayaknya spesial deh di matanya.”
Aku
tertawa kecil. “Lo ngehayal.”
“Mel,
nurut lah sama gue. Gue kan temen lo, gue mau bantuin lo.”
Aku
menelan ludah. Temen? Jadi selama ini dia
Cuma anggep gue temen? Padahal gue udah nganggep dia lebih dari itu. Gue udah
anggap dia Sahabat gue. Ah, nyesek! Gumam ku dalam hati.
“Mel,
kok lo diem?”
“Eh..
Eh, iya iya gue ikutin kata lo.”
Edo
tersenyum lebar.
***
bersambung...
Komentar
Posting Komentar