SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #1 (my first short story)
SATU JENGKAL DI SAMPINGMU
-Cinta datang
terlambat-
Aku
berlari menuju mading sekolah.
Hari ini pengumuman
peserta Drumband yang terpilih untuk acara Hari Kemerdekaan. Hari yang ku
tunggu-tunggu sejak satu bulan yang lalu. Jantung ku berdegub cepat, lebih
cepat saat melihat Ray jalan di depanku. Ini harapan besarku, menjadi anggota
grup Drumband merupakan impian semua siswa kelas IX. Aku berusaha mengintip
hasil pengumuman itu dari banyaknya kerumunan siswa. Ah, beginilah punya badan
pendek, usaha paling maksimal hanya menjinjitkan kaki. Pikirku.
Menjadi anggota Drumband memanglah menjadi dambaan semua
siswa. Siapa saja yang terpilih, ia akan begitu cepatnya terkenal di lingkungan
sekolah. Apalagi saat karnaval, Grup Drumband sekolah kamilah yang menjadi
sorot perhatian semua orang yang ada di kota kami. Tapi bukan itu alasan
terbesar ku mendambakan Grup Drumband. Ray. Itulah alasan terbesarku
mendambakan ini semua. Aku hanya ingin lebih dekat dengan nya, menatapnya lebih
lama lagi, berada di samping nya saat ia membutuhkan bantuan.
Satu tahun lalu, saat Aku dan Ray masih duduk di kelas
VIII, ia pernah mempunyai rasa dengan ku. Tapi sayang, aku hanya menganggapnya
kosong. Tak ternilai. Berulang kali ia mengejarku, sampai terkadang aku risih
melihatnya. Tapi kini, aku mencapai pada titik balik. Kebanyakan orang
menyebutnya dengan karma, ya begitulah. Dan saat ini aku malah berbalik arah
dan terus berlari untuk mengejar Ray, aku pikir ia yang terbaik untukku. Aku
dan Ray itu bersahabat. Sejak dulu aku selalu merasa nyaman dengan Ray. Apapun
tingkah yang dia lakukan, selalu membuat torehan senyu di bibirku. Manis
memang, tapi itu dulu, sebelum ia menganggap aku hanyalah sampah yang tak
berarti.
Jemari ku mencoba menelusuri nama-nama yang tercetak pada
kertas HVS Legal itu. Ray. Dia memegang alat Bass Drum. Ada juga Audrey,
sahabatku, ia diberi kepercayaan untuk memegang pianika. Kini pertanyaannya,
dimana aku? Apa aku tak terpilih? Kini aku mulai gelisah, ku coba kembali
menelusuri nama-nama yang tercetak itu. Keringat di dahiku mulai bercucuran,
aku mencoba menggigit bibir ku yang sejak tadi gemetar. Dan benar, aku tak
terpilih. Harapan ku pupus untuk dekat dengan Ray. Aku menghela napas. Menerima
kenyataan ini.
“Melodi?” Audrey menghampiriku, terlihat ia menggenggam 2
jus mangga. Ia berlari tergopoh-gopoh menemui ku. Seperti ada hal penting yang
ingin dibicarakan.
“Iya Drey, ada apa?” aku hanya menjawabnya lirih. Entah
apa yang harus ku lakukan saat menemui sahabat ku yang satu ini. Aku ingin
tersenyum menyambutnya, tapi di satu sisi sejujurnya perasaan ku tak
mengizinkan aku untuk tersenyum.
“Kamu kenapa Mel?” Audrey bertanya dengan penuh selidik.
Lalu ia meletakkan satu jus mangga nya di samping tanganku. “Ini buat kamu,
Mel. Kalo ada masalah cerita, dong. Aku kan juga sahabat mu.” Audrey tersenyum
sembari menepuk bahuku pelan, seolah meyakinkan.
“makasih jus nya,” Aku mengambil jus itu. Terasa dingin,
mungkin se-dingin perasaanku ini, yang masih tak bisa ku luapkan oleh siapapun
yang ada di samping ku. Sekalipun Audrey, Sahabatku.
Harapanku
selama 3 tahun ini pupus sudah.
Sore ini, ku putuskan untuk bertanya-tanya tentang Ray
pada Edo di lapangan basket kompleks rumah ku. Edo adalah teman sepermainan ku
sewaktu SD, kami sering bermain di lapangan ini bersama. Tapi, semenjak SMP
kami jarang bertemu. Sesekalinya bertemu, itu pun saat di sekolah. Aku dan Edo
lebih sering berkomunikasi lewat BBM, sekedar bertanya-tanya tentang ulangan
harian ataupun modus untuk mencari tahu tentang Ray. Mungkin Edo sudah curiga
dari dulu tentang perasaanku terhadap Ray. Tapi aku acuh saja. Toh, Edo tak
akan membocorkan rahasiaku padanya. Bagaimana aku bisa percaya padanya? Kita
sudah berteman selama 14 tahun lamanya dan aku tahu sifat Edo. Dari masih bayi
yang kemana mana membawa dot, hingga saat ini yang kemana mana tak lupa membawa
gadget masing-masing.
Edo terlambat 15 menit dari perjanjian yang sudah dibuat.
Edo mengerutkan alisnya, seolah mempertanyakan mengapa aku mengajak ia bertemu
sore ini. Aku menepuk-nepuk tempat duduk yang tersisa di sebelahku.
“Duduk sini Do. Lo kenapa telat sih? Jarak rumah lo
kesini kan Cuma 20 meter.” Pertanyaan yang selalu aku ucapkan ketika tahu Edo
selalu telat saat ku ajak bermain di lapangan ini.
“Sorry, Mel. Tadi gue disuruh nyuci motor dulu sama Kak
Dio,” Edo tertawa kecil. “Lo mau nanya tentang apa?” Edo menoleh ke arah ku.
“Tentang Ray. Lo tau kan kalo selama ini gue punya rasa
sama dia?”
“Hmm, gue tau. Terus, yang mau ditanyain apaan?” Edo
menaikan salah satu alisnya, dengan ekspresi kebingungan khas ala Edo yang
selalu membuatku tertawa. Aku mendorong pundaknya sambil menahan tawa. Hahaha.
“Ah, lo mah kebiasaan.” Edo membenarkan posisi duduknya.
“Muka gue aneh?” Edo menepuk bahuku. “Prasaan muka gue udah ganteng banget kaya
Lee Min Ho.” tambahnya. Edo memang salah satu penggemar drama Thailand &
Korea. Tapi ia lebih tergila-gila dengan Aktris Thailand, Punpun. Entah apa
yang membuatnya terlalu tergila-gila dengan Aktris tersebut. Padahal, masih
banyak Aktris Thailand yang lebih cantik darinya. Contoh saja, Baifern. Aku
sangat menyukai Baifern sejak menonton film First Love. Menurutku, Baifern itu
sangat baby faced . Ah, sudahlah.
“Idih, mimpi lo Do? Bangun kali, udah sore!” aku berusaha
menahan tawa. Mulutku dari tadi sudah ku bekap dengan kedua tanganku. Aku hanya
terus tertawa saat bersama Edo.
“Lo mau nanya apa, Melodi?” kedua kalinya ia bertanya
seperti itu.
“Ray udah punya pacar belom sih? Atau, dia lagi suka sama
siapa?”
“Setau gue sih belom.”
“Yaudah kalo gitu” aku menoleh kearah Edo sambil
tersenyum lebar. Mendengar perkataan ku tadi, Edo menoleh padaku. Ia
mengerutkan alisnya dan memperlihatkan ekspresi kebingungannya lagi. Baiklah,
aku berusaha menahan tawa untuk ketiga kalinya.
“Lo suruh gue dateng kesini cuma mau tanya itu doang,
Mel?” ia bangkit dari posisi duduk nya.
Aku ikut berdiri dan tertawa kecil. “Hehehe. Iya, Do,”
jawabku. “Gapapa kan?”
Edo menggerutu dan berjalan
meninggalkan ku. Tapi aku mengerti, ia takkan marah padaku, bahkan selama ini
kami bersahabat, aku belum pernah melihat Edo marah karna ulah atau sikap ku.
Aku menatap punggung Edo yang kian jauh meninggalkan ku. Lalu aku berlari
mengejarnya. Menyamai dengan posisinya. Kini kita bersampingan, yang ada hanya
tawa kecil yang mengiringi kami pulang ke rumah.
Malam ini aku ditemani boneka Paddington ku yang
berukuran lumayan besar, tingginya hampir menyamaiku. Boneka ini pemberian dari
Ayahku sewaktu aku berumur 6 tahun. Boneka ini ku beri nama Paddy. Hanya Paddy
lah yang menemaniku disaat aku di rumah sendiri. Keluarga ku cukup sibuk.
Ayahku sudah berangkat kerja pukul 8 pagi dan pulang sekitar jam 9 malam.
Sedangkan ibuku, beliau memiliki usaha kue kering di rumah. Berawal dari hobi
berkreasi dengan kue kering, akhirnya beliau memutuskan untuk membuka usaha
sendiri dirumah. Setelah 3 tahun usaha ini didirikan, ternyata banyak juga
peminatnya. Terkadang, teman-teman ku memesan kue disini untuk keperluan acara
atu hanya sekedar untuk cemilan harian.
Aku lalu mengambil ponselku, mencoba BBM Ray, tapi ada
rasa malu. Bukankah ia telah menganggapku sampah? Tapi kini aku mencoba berani.
Satu persatu aku mengetikkan sebuah kalimat yang ingin ku kirimkan ke Ray.
Malam Ray.
Sudah 10 menit aku menunggu. Tapi sama sekali belum
dibaca oleh Ray. Mungkin sibuk. Ray termasuk anak gamers, yang selau menghabiskan setiap menit di harinya untuk
bermain game online bersama
teman-temannya. Mugkin kini ia sedang di depan komputer dan tak sempat melihat
BBM ku. Atau mungkin, aku tak penting untuk nya, jadi ia sengaja untuk tidak
membalas BBM ku.
Setelah 40 menit ku tunggu, akhirnya Ray membalas BBM ku
tersebut.
Iya Mel. Tumben BBM.
Aku tersenyum. Rasanya ingin tertawa bahagia, namun aku
takut dikira ‘gila’ oleh Ibuku yang mendengarnya. Aku membalas BBM dari Ray
tersebut dan berhujung dengan saling mengobrol, bertanya satu sama lain. Ray
sama sekali tidak mengacuhkan ku. Apa dia masih memiliki rasa padaku? Apa iya
masih menyimpannya? Apakah mungkin dia masih menaruh harapan padaku yang dulu
selalu aku pupuskan?
Cinta telah datang terlambat. Cinta takkan mungkin salah,
karna cinta tak tahu apa-apa. Mungkin takdirlah yang salah. Namun apapun
alasanya, aku berusaha untuk menerima.
bersambung...
Komentar
Posting Komentar