SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #2
-Bass Drum dan Snar
Drum-
Hidup
ini ada banyak pilihan.
Kita
sebagai pemilih, harus memilih yang terbaik.
Dan
mereka yang dipilih, harus memperjuangkannya.
Bell istirahat
berbunyi. Aku, Audrey dan Nirmala memutuskan untuk pergi ke kantin.
Aku mencari-cari tempat duduk yang kosong di kantin ini.
Semua meja terlihat sudah di tempati oleh anak-anak kelas VII, VIII, ataupun
IX. Mataku melirik kesana kemari, hingga akhirnya aku menemukan satu meja
kosong di ujung timur kantin ini. Kami bertiga memutuskan untuk segera
menempatinya. Takut ada anak kelas lain yang akan lebih dulu menempati.
Layaknya aku, mungkin aku harus mengungkapkan rasa ini kepada Ray. Sebelum
nantinya aku menyesal karna Ray berubah pikiran untuk meninggalkanku dan ada di
genggaman perempuan lain. Tapi aku takut itu bukan pilihan terbaikku.
Audrey meniup-niup seuntal mie yang ada di sumpit
kayunya, disela-sela ia meniup, ia bertanya sesuatu padaku. “Makin hari, kamu
makin murung. Kenapa?”
“Ah, masa sih? Aku biasa-biasa aja kok, Drey” sahut ku.
Sepertinya aku berbohong kali ini.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan, Mel? Cerita lah sama kita
kalau punya masalah.” Nirmala menoleh ke arah ku. Ia tersenyum padaku seolah
meyakinkan.
Aku membalas senyumnya. “Eh, Drey. Udah latihan drumband
berapa minggu?” Audrey menoleh ke arahku. Ia mulai menghitung jemarinya.
“Banyak minggu, Mel. Hehehe,” ia tertawa. “Kira-kira udah
hampir 2 bulan.”
Aku mengangguk.
Beberapa saat kemudian, Nada, teman kami, menghampiri ke
tempat kami makan. Ia menyapa satu-satu dari kami. Ia memberi pengumuman untuk
siapa saja yang ingin mendaftarkan diri menjadi color guard – anak-anak perempuan yang memegang bendera dalam
Drumband, bisa mendaftarkan diri pada dirinya.
Spontan aku terkejut, hingga aku hampir tersedak. Rasanya aku ingin berteriak
nama ku sekencang mungkin pada Nada. Aku mengiyakan, dan menuliskan nama ku
pada kertas yang dibawa Nada.
“Nanti
habis pulang sekolah, langsung latihan ya Mel. Gabung sama anak-anak drumband
yang lain.” ujar Nada.
***
“Nir, aku sama Audrey latihan drumband dulu ya? Kamu
pulang sendiri gapapa kan?” tanyaku.
“Gapapa kok, Mel. Santai aja.” Nirmala tersenyum, matanya
menjadi sipit ketika ia tersenyum.
Aku dan Audrey bergegas menuju lapangan. Kami berbaris
sesuai dengan kelompok masing-masing. 3 Mayoret berdiri di paling depan, di
belakangnya terdapat kelompok bolerra, kemudian pianika, Drum & simbal, lalu
kelompokku. Color Guard. Aku berdiri
disamping Nada, yang juga anggota kelompok Color
Guard. Aku melihat kearah sekitar, mulai menghitung anggota dari
kelompokku. 18 orang ternyata, cantik-cantik pula. Kini saatnya kami berlatih
bendera. Memutar ke kanan, mengangkat ke atas, memutarnya ke belakang, ke kiri,
ya semacam itu lah. Pelatih Color Guard,
ternyata guru musik kami sendiri. Bu Wira namanya, beliau adalah ibu kandung
dari Ray juga. Aku mengikuti gerakan yang di berikan Bu Wira. Syukur, gerakan
ku sudah luwes daripada teman-teman yang lain. Dan aku terpilih menjadi Color Guard yang terbaik, maka Bu Wira
menempatkanku di barisan paling depan. Lalu, kami mulai berlatih sesuai dengan
iringan alat musik drumband lainya. Sebagai yang dipilih aku harus
memperjuangkannya.
Tak terasa sudah 2 jam kami berlatih. Aku memutuskan
untuk sholat ashar, dan istirahat sejenak. Aku ditemani oleh Audrey, ia
membawakan 2 gelas air mineral dingin. “Ini yang satu buat mu, Mel”
“Thanks ya,
Drey” aku mulai meneguk air mineral itu. Lalu aku menghentikanya. Mataku yang
dari tadi melihat-lihat sekeliling, sekarang terhenti pada ujung lapangan.
Disana ada Ray. Terlihat tertawa-tawa bersama teman-temanya juga seperti ada
yang di bicarakan. Tak sadar, pipiku merona merah. Senyum ku pun mulai
mengembang. Akhirnya aku bisa mengikuti kegiatan drumband ini.
“Eh mel, lihat deh! Itu Reza. Ya ampun, sekarang dia
keren banget ya? Dulu pas masih sekelas sama kita di kelas VIII, kelihatan biasa-biasa
aja. Sekarang lihat deh, kece banget.” suara Audrey melepas pandangan ku
terhadap Ray. Aku mengikuti arah telunjuk Audrey yang menunjuk salah satu anak
snar drum yang berjalan di depan kami duduk. Ternyata Reza, anak IX.5 yang
terkenal sekali kepintarannya dalam Matematika. Dulu, saat kami masih sekelas
ia selalu di ajukan sebagai perwakilan sekolah kami dalam Olimpiade Matematika
se-Provinsi. Begitu juga Nirmala, ia pun menjadi perwakilan Olimpiade Sains
untuk sekolah kami.
Sewaktu
aku kelas VII, aku pernah kagum terhadap Reza. Bagiku dia sangat spesial dari
teman-temannya yang lain. Dia jarang berbicara, berpenampilan keren, misterius
dan sangat pintar. Yang aku hafal dari
dia adalah, saat berjalan Reza selalu memasukan tangan kanannya ke saku celana.
Itu yang membuat dia semakin keren. Tapi sepertinya, saat ini aku mulai
menyukai lagi pemegang snar drum itu.
Aku dan Audrey menghampiri Reza yang tengah duduk di
samping pohon kelengkeng. Terlihat banyak anak-anak perempuan yang menghampiri
Reza, sepertinya mereka juga penggemar Reza, sama halnya dengan aku dan Audrey.
Ekspresi Reza terlihat heran, lalu terlihat senyum kecil terlukis di bibirnya.
“Za,”
panggilku. Ia menoleh, hanya mengerutkan alisnya, tanpa bicara. “Aku mau foto
bareng sama kamu, boleh ya?” lanjut ku. Semua pasang mata yang ada disini
mengalihkan padaku. Terdengar bisik-bisik lirih dari para penggemar Reza, kok Melodi berani-berani nya ngajak foto
bareng ya...
Tanpa
disangka, Reza mengangguk. “Satu kali saja ya?”
Aku
mengangguk sembari mengeluarkan ponselku yang ada di saku baju. Aku menyuruh
Audrey untuk menjepret nya.
bersambung...
bersambung...
Komentar
Posting Komentar