SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #3

Hari makin sore, dan kami masih ada disini.
            “Baik anak-anak, sebelum kita mengakhiri latihan kita hari ini, mari kita berdoa bersama. Berdoa mulai.” Pelatih drumband yang bernama Kak Rendi itu memimpin doa. Semua kepala menunduk, berdoa dengan penuh nikmat di tengah senja yang mulai terlihat. “Berdoa selesai. Jangan lupa besok latihan lagi ya!” Kak Rendi tersenyum senang.
            Aku menunggu kakak ku di depan gerbang. Katanya ia akan menjemputku hari ini. Tapi aku sudah menunggunya selama 30 menit. Ia bahkan belum datang juga. Berulang kali aku melihat ke jam tangan ku. Sudah pukul 4 sore. Aku berusaha meneleponnya tapi tak diangkat. Sampai aku mendengar suara motor yang melaju pelan ke arah ku dan suara itu tiba-tiba menghilang. Aku yakin saat ini motor tersebut ada di belakang ku. Karna penasaran aku menoleh ke arah motor berhenti itu. Bukan main, ternyata Ray. Ia memasang senyum manisnya padaku.
            Aku membalas senyum Ray.
            “Belum pulang, Mel?” Ray membuka kaca helm nya untuk memudahkan ia bicara.
            “Belum. Mungkin sebentar lagi.”
            “Kalo gue antar, gimana?”
            “Gak usah Ray. Nanti lo kerepotan malahan. Hehehe.” aku tertawa kecil.
            “Santai, Mel. Ayo naik!” ia tersenyum.
            Rasanya aku ingin melompat-lompat disini. Mungkin saat ini Ray mengerti pipiku mulai memerah. Aku bahagia, berbunga, seperti orang jatuh cinta. Untuk pertama kalinya aku diantar oleh teman laki-laki ku. Bahkan ini Ray, orang yang aku sukai. Setelah duduk di atas motor, aku mencoba menjaga jarak dengannya. Aku terlalu risih untuk berdekatan dengan anak laki-laki lain sekalipun ia orang yang aku sukai.  Motor pun mulai melaju. Di tengah jalan kami bertemu banyak teman-teman yang masih menunggu jemputan. Banyak yang menunjuk-nunjuk ke arah kami. Tapi tak ada yang lebih indah dari saat-saat bersama Ray seperti ini.
            Di perjalanan kami hanya berbicara tentang drumband. Tidak ada satu kalimat tentang perasaan yang keluar dari mulut kami. Rasanya aku ingin mengungkapkan sekarang.
            Aku menyukai mu Ray. Aku rasa aku terlambat. Tapi apapun itu, inilah kenyataannya.
            Seketika itu, di otakku melesat nama Reza. Aku juga telah jatuh hati padanya hari ini. Tapi disisi lain, aku juga menyukai Ray. Aku yakin, mungkin keputusan ku untuk mengungapkan perasaan kapada Ray saat ini, bukan keputusan terbaik. Lain kali, aku pasti mengatakannya.
            Akhirnya kami sampai di depan rumahku. Dan ternyata Kak Boby, kakak ku, sedang mengganti oli motor di teras rumah. Ia minta maaf padaku karna tak bisa menjemput tepat waktu. Motor tua koleksi Kak Boby itu ternyata rusak di tengah jalan saat ingin menjemputku. Dan ponsel Kak Boby ternyata tertinggal di rumah. Kak Boby menjelaskanya dengan sangat detail hingga aku hampir lupa jika ada Ray yang masih berdiri di samping pagar.
            “Ini temanmu atau pacarmu, Mel?” Kak Boby tertawa kecil, ia melirik ku jail.
            “Temen kak,” sahut ku. “Mampir dulu gak, Ray?” samar-samar aku mendengar Kak Boby mengeja nama Ray.
            “Hmm, lain kali deh, Mel. Gue pulang dulu ya. Sudah petang” Ray menyalakan motor matic nya dan tangan kirinya melambai ke arah ku.
            Aku tersenyum sambil melambaikan tanganku. Aku yakin, malam ini aku takkan bisa tidur.
***
Pagi ini pelajaran Matematika. Bu Rani guru matematika kelas kami. Beliau sekaligus menjadi wali kelas kami. Anak-anak di  kelasku, IX.3 , paling takut saat mendapat nilai ulangan matematika dibawah KKM. Otomatis, yang mendapatkan nilai di bawah KKM, akan diberi sanksi berat oleh Bu Rani. Beliau sebetulnya tidak galak seperti guru lainya. Beliau malah lebih bersahabat kepada kami. Beliau hanya ingin anak didik nya lebih maju. Beliau selalu mengingatkan agar jangan pernah takut bermimpi. Jangan pernah takut bermimpi setinggi langit. Ketika kita jatuh, setidaknya kita akan jatuh di bintang. Itulah kata beliau.
Hari ini kami diberi tugas kelompok untuk mengerjakan soal UAS tahun kemarin. Katanya, beliau sedang ada urusan dan tidak bisa mengajar pada jam kelas kami. Aku, Audrey, Nirmala dan Ayra sekelompok. Yang paling ahli matematika diantara kami hanyalah Nirmala. Semua soal dapat diselesaikan dengan mudah, kecuali 2 nomor tentang Sisi Lengkung. Aku yang melihat gambarnya saja sudah angkat tangan. Logika harus jalan dan kelemahan ku di masalah logika.
“Waktunya tinggal 30 menit lagi, nih. Dan tugasnya harus di kumpulin di meja Bu Rani. Aku udah pusing banget ngitung dari tadi dan gak ketemu jawabannya” Nirmala mendesah.
“Aduh! erus kita harus gimana nih?” Ayra mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja.
Aku dan Audrey sama-sama mengangkat bahu.
“Kelas IX.5 jam kosong gak? Kita tanya aja ke Reza, dia kan jago.” tiba-tiba Audrey bangkit dari tempat duduknya.
Aku mengiyakan. “Kelas IX.5 kan baru aja selesai olahraga. Ayo Drey!” kami bergegas ke kelas IX.5.
Kelas Reza letaknya persis di depan kelas ku, jadi kami tak perlu tergopoh-gopoh berlari. Aku melihat ke sekeliling isi kelas IX.5 . Mencari-cari tempat duduk Reza. Akhirnya aku menemukan Reza, aku kenal sekali dengan gaya rambutnya. Rambutnya selalu klimis dan hanya disisir ke samping. Dan itu yang membuat semua anak cewek di sekolah kami melirik Reza. Ia duduk pas di samping jendela. Dia terlihat sedang menggambar sesuatu, sepertinya. Tiba-tiba Audrey izin padaku untuk ke kamar mandi. Dengan terpaksa, aku menghampiri Reza sendirian. Aku perhatikan tangannya yang lihai menari-nari diatas buku catatan. Dugaan ku benar, dia menggambar. Gambarnya serupa binatang Dinosaurus, tapi gambarnya jauh lebih bagus daripada Dinosaurus yang pernah ku lihat di museum-museum.
“Lagi gambar, Za?” tanya ku. Sebetulnya aku sudah tahu jawabannya. Tapi tak apa, sekedar basa-basi.
Reza hanya mengangguk. Ia sedikit bingung kenapa aku ada di kelasnya.
“Za, aku minta tolong sama kamu boleh gak?” aku gugup saat bertanya.
“Tolong apa? Foto bareng lagi?” Reza tersenyum. Ia bahkan selalu tersenyum saat ku ajak bicara, mungkin karna aku gugup jadi itu kelihatan lucu baginya.
Mataku menyipit. “Enggak lah za,” aku tertawa kecil. “Bantuin aku ngerjain soal ini dong.” aku menunjukan nomer soalnya pada Reza.
Reza berdeham. “Kemarin soal ini sudah di bahas,” dia melipat kertas soal yang ku berikan tadi. “Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam buku catatan ku.” Tambahnya.

Aku mengangguk cepat. Reza memberikan bukunya kepada ku. Setelah mengucapkan terimakasih padanya, aku bergegas meninggalkan kelas IX.5. Walau sebenarnya aku masih ingin disini, di dekat Reza.
bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijrahku | Chapter 1 : Meninggalkan Kpop #CaramelNewStory

SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #6

Memilih