SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #4

Pulang sekolah ini aku dan Audrey menuju tempat latihan drumband. Tak terasa sudah 6 pertemuan aku dilatih oleh Bu Wira. Dan tak terasa pula, aku makin dekat dengan Ray, juga Reza. Jujur ingin rasanya aku mengungkapkan rasa ini pada Ray. Tapi aku terlalu takut dan tak memiliki rasa nekad sekalipun. Cinta itu ada resikonya. Berani jatuh cinta, juga berani terluka. Berani meggali lubang, juga harus berani jatuh kedalamnya. Tapi kali ini aku terjebak pada 2 hati yang sama-sama membuatku nyaman. Aku menyukai Ray, tapi Reza juga telah membuatku jatuh hati. Aku membiarkan mereka mengalir, aku membiarkannya hanyut dalam derasnya arus, tak peduli apa yang akan membentur mereka. Dan pada akhirnya, yang terbaiklah yang akan bertahan dan sampai di muara. Aku menunggu yang terbaik, dan aku akan berusaha untuk memperjuangkan yang terbaik.
            Aku menunggu Audrey latihan di aula. Kelompok pianika dan bilerra belum keluar dari tadi. Pasti memainkan alat musik itu tak mudah. Maka dari itu, aku sangat membenci alat musik. Aku lebih memilih untuk bernyanyi. Karna bagiku itu lebih mudah dan menyenangkan. Aku mendengar derap langkah kaki di sampingku. Ketika aku menoleh, ternyata itu Reza. Dia duduk sekitar 5 meter dariku dengan posisi kaki di luruskan dan tanganya mulai memijat-mijat bahu nya. Aku tau, membawa snar drum pasti sama beratnya dengan menggendong bayi.
            Aku memutuskan untuk mendekati Reza. Dia menoleh ke arahku. Aku memperbaiki posisi dudukku dan melipat kaki ku. Tak ada pembicaraan saat itu. Namun, aku memilih untuk memulainya.
            “Reza, capek ya?” pandangan ku lurus kedepan, tanpa melirik Reza se-senti pun.
            “Lumayan.” dia melipat kakinya.
            “Kemarin aku cari nomermu di akun Facebook mu. Pas aku telepon, gak bisa di hubungin.”
            Mendengar perkataanku, Reza menoleh kearah ku dengan pandangan penuh tanya.
            “A-ku min-ta nomer-mu, bo-leh?” aku bertanya dengan sangat gugup. Kali ini aku nekad sekali.
            “Buat apa?”
            “Mau curhat sama kamu.”
            “Aku gak megang HP.”
“Bohong.” Aku menggeleng.


- Kelabu –



Aku membuka buku catatan Reza.
            Lembar demi lembar ku buka perlahan. Tulisannya tak begitu rapi, dan tak menarik. Tapi setiap aku membacanya, aku bisa tersenyum-senyum sendiri. Sosok Reza yang misterius, ternyata memiliki tekat yang luar biasa untuk menggapai mimpi-mimpinya. Terlihat dari catatannya yang begitu lengkap. Jauh berbeda dengan catatan ku yang hanya berisi rumus-rumus. Itu juga tidak jelas dan tak lengkap. Tapi kali ini aku memiliki tekad, tekad untuk mengalahkan Reza, tekad untuk membuktikan padanya jika aku bisa sejajar dengan dia bahkan melebihi nya. Di sampul buku terakhir, aku menemukan sebuah kalimat : Tak cukup kalau hanya untuk ku kagumi. Pertanyaan-pertanyaan muncul di benakku. Apa seorang Reza bisa jatuh cinta? Apa sebenarnya ia memiliki pacar? Apa... ah sudahlah, sosok Reza memang tak bisa ditebak.
            Kini, Ray. Aku membuka BBM, aku mulai menyapa Ray, dan seperti biasa chatting-an kami berhujung pada obrolan santai. Tidak pernah membicarakan tentang perasaan. Dan pada beberapa saat kemudian, Ray menanyakan sesuatu hal yang membuat ku tertegun.
Lo suka sama gue, Mell?
Aku spontan membantah. Aku berbohong dengan perasaan ku sendiri, tapi entah jika aku mengaku mungkin itu bukan keputusan terbaik.
Kata Edo, lo suka sama gue... ;)
Apa-apaan ini? Edo membocorkan rahasia ku? BBM dari Ray ku biarkan begitu saja. Seketika aku mencari kontak BBM Edo. Aku langsung protes tak henti-henti. Tapi jujur aku tidak bisa marah pada sahabatku yang satu ini. Tapi sepertinya Edo merespon biasa-biasa saja dengan omelan ku.
Demi kebaikan lo, Mel.
Aku melipat tanganku diatas meja belajar. Apa yang dikatakan Edo benar. Ini demi kebaikan ku. Tapi haruskah secepat ini? Aku memutuskan untuk tidur. Terlalu lelah hanya untuk memikirkan sebuah perasaan.
***

Tak terasa, besok kelompok drumband kami akan tampil di alun-alun kota. Aku tak bisa membayangkan besok saat aku dan Color Guard lainya menari di depan para tamu-tamu penting dan kepala pemerintahan kota. Aku tertawa sendiri saat membayangkan itu.
“Nir, gimana ya caranya deket sama Reza. Minta nomernya susah banget.” Keluh ku.
“Ya ampun Melodi. Aku punya nomernya!” Nirmala mengangkat kepalanya yang dari tadi hanya di topang oleh tangan kanannya.
Mataku terbelalak. “Kok bisa, Nir?”
“Dulu pas aku dan Reza ikut Olimpiade, Reza pernah sms aku. Nanya tentang penyelenggaraan olimpiade.” jawab Nirmala.
“Ah, Nirmala kenapa gak bilang dari dulu? Aku minta dong.” aku cemberut mendengar jawabannya.
Nirmala langsung mengeluarkan ponselnya dan mulai mencatatkan sebuah nomer di selembar kertas. Ia menyodorkan kertas itu padaku.
“Makasih Nirmala.” aku dan Nirmala tertawa bersama-sama.
Tawa ku terhenti ketika melihat Ray di depan pintu kelas. Tak sengaja mata kami saling bertemu. Pipiku memerah, dan aku mengusahakan sebisa mungkin untuk menyembunyikan senyumku. Aku salah tingkah. Pura-pura membaca buku pelajaran padahal aku sedang memejamkan mata. Tapi aku mendengar suatu teriakan di luar kelas.
“Mel, lo baca apaan? Buku lo kebalik tuh!” itu suara Ray.
Perlahan aku menutup buku itu sambil menahan tawa. Aku juga melihat Nirmala yang tertawa terbahak-bahak melihat tingkah ku.
            Tawa kami reda ketika Audrey menggebrak pintu kelas dan membukanya lebar-lebar. Pipinya merona merah, sangat merah. Ia memeluk aku dan Nirmala. Tertawa tak jelas sambil melirik keluar kelas.
            “Kamu kenapa, Drey?” aku pun ikut tertawa.
            “Tadi,” Audrey menarik napas. “Di depan kelas, Ray nembak aku! Dan kita udah jadian!” Audrey memeluk kami lagi.
            Deg. Jantungku serasa berhenti sedetik. Tawaku redup perlahan. Mataku sangat panas, rasanya ingin menangis saat itu juga. Tapi aku mengontrol keadaan ku sendiri, mencoba menyesuaikan dengan suasana yang ada.
            “Wah, selamat ya Audrey! Kamu kok gak pernah cerita sama kita sih, kalo kamu suka sama Ray. Hehehe.” aku tertawa kecil sambil memeluk Audrey. Dan diam-diam aku mengusap mataku yang mulai membasah.

            “Iya nih. Audrey cerita, dong.” sahut Nirmala.
            Audrey mulai menceritkan pada kami. Ia menyukai Ray sejak kelas VIII, ia sempat patah hati ketika mendengar jika aku ditembak oleh Ray. Tapi ia tak menyerah. Ia terus mengejar Ray. Katanya, belakangan ini ia sering memandang Ray saat latihan drumband. Bahkan kemarin, ketika ia menemaniku menemui Reza dan izin ke kamar mandi, ia ternyata malah ke kelas Ray. Katanya ia diberi sebatang coklat oleh Ray. Dan akhirnya, tadi di depan kelas Ray menembak Audrey langsung.
            Saat Audrey berhenti bercerita, aku hanya bisa menundukan kepala.

            Rupanya aku kalah cepat.

bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijrahku | Chapter 1 : Meninggalkan Kpop #CaramelNewStory

SATU JENGKAL DI SAMPINGMU #6

Memilih